Minggu, 07 Juni 2015

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di indonesia

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL DI INDONESIA


https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRJy_lYkQAu9QMvuQZCMHm2Jp86ortEqX3rLFzTP7WzN9PBHnvWQQ


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persaingan usaha yang begitu ketat dan banyak terjadi di semua lini merupakan salah satu dampak dari perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat. Dengan lingkungan yang sangat kompetitif maka dunia usaha dituntut untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dalam peningkatan pelayanan kepada pelanggan. Oleh sebab itu perlu adanya perubahan struktural dalam pengelolaan usaha yaitu dengan memperkecil rentang kendali manajemen menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.
Oleh karena itu disimpulkan bahwa jika kemudian muncul kecenderungan memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan (outsourcing).
Praktek outsourcing dalam kehidupan sehari-hari selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak, upah lebih rendah, jaminan sosial ka ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.
Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibidang ketengakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aspek Hukum Perjanjian Outsourcing di Indonesia
Persaingan di dalam dunia bisnis membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
 Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.

B.     Definisi Outsourcing
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.
Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.
Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja. Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). 

C.    Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM. Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing. Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya. 

D.    Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik. 

E.     Dasar Hukum Pelaksanaan Sistem Outsourcing di Indonesia
Sejak masa pemerintahan belanda, pengaturan tentang sistem outsourcing, sebenarnya sudah diatur. Outsourcing diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b. Pasal tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap karena belum diatur terkait pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja outsourcing.
Kemudian dasar hukum pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia era modern diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Kep. 101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 pasal 64 menyebutkan bahwa:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis: 
1.      Pemborongan pekerjaan
Merupakan pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb. 
2.      Penyediaan jasa Pekerja/Buruh
Merupakan pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor. Meskipun pengertian outsourcing terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Namun, pada perkembangannya praktik sistem outsourcing tidak hanya dilakukan melalui pengalihan pekerjaan kepada perusahaan vendor outsourcing, tetapi perusahaan secara mandiri juga dapat melakukan praktik outsourcing dengan merekrut karyawan kontrak yang disebut sebagai Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT). Dalam hal ini hubungan yang berlangsung adalah antara perusahaan dengan karyawan kontrak dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut terhadap para pekerja kontrak. 

F.     Perkembangan Peraturan Outsourcing di Indonesia
Dalam perkembangannya, praktik outsourcing lebih banyak merugikan para pekerja/buruh yang bekerja secara outsource. Oleh karena itu Mahkamah Institusi Republik Indonesia melalui Putusan No. 27/PUU-IX/2011 pada tanggal 17 Januari 2012 menghapuskan praktik sistem outsourcing. Keputusan ini merupakan putusan pengadilan terhadap tuntutan seorang buruh PLN terhadap keberadaan sistem outsourcing.  Putusan tersebut berbunyi:    Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Terkait dengan putusan MK tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan surat edaran mengenai pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia dalam surat edaran No: B. 31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Surat edaran tersebut menekankan pada UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 yang berbunyi:
Pasal 59
(1)      Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a.          pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.         pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.            pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.       pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)       Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3)             Perjanjuan kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4)             Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5)             Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)             Pembaruan perjanjian kerja waktutertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7)         Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hokum menjadi penjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8)             Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Surat edaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: B. 31/PHIJSK/I/2012 ayat 2a menyebutkan: Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka: apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak –hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Poin ini menjadi dasar hukum dihapuskannya sistem outsourcing terhadap pekerjaan yang memiliki obyek tetap, kecuali seperti pekerjaan konstruksi bangunan yang masih bisa menggunakan sistem pekerjaan outsourcing dalam merekrut tenaga kerja dalam mengerjakan sebuah proyek bangunan karena pekerjaannya yang bersifat tidak tetap

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing. Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.

B. SARAN
Dengan berkembangnya perekonomian dan IPTEK, dunia usaha dituntut untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dalam peningkatan pelayanan kepada pelanggan oleh karena itu dibutuhkan perusahaan penerima pekerjaan (outsourcing). Menurut saya praktek outsourcing dalam kehidupan sehari-hari sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak, upah lebih rendah, jaminan sosial ada hanya sebatas minimal, sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. saya setuju jika Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan sebagainya sehingga dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis dan dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.


DAFTAR PUSTAKA

Simbolon. 2011. Perilaku Outsourcing. Medan; Siregar Group.

Faiz. 2007. Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja pada Perusahaan. Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar