PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DALAM UPAYA
MENGATASI TUMPANG TINDIH PERATURAN
PERUNDANG – UNDANGAN NASIONAL
MENGATASI TUMPANG TINDIH PERATURAN
PERUNDANG – UNDANGAN NASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 memiliki implikasi yang mendasar dan luas
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai perbandingan, jumlah
ketentuan yang tercakup dalam UUD 1945 yang asli mencakup 71 butir ketentuan.
Sekarang, setelah mengalami empat kali perubahan dalam satu rangkaian proses
perubahan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, butir ketentuan yang tercakup di dalamnya menjadi 199
butir. Kondisi ini menggambarkan
betapa besarnya perubahan yang terjadi terhadap UUD 1945 yang menjadi hukum
dasar dan hukum tertinggi dalam sistem hukum
Indonesia.
Dengan
berubahnya butir-butir ketentuan dalam UUD 1945 maka sudah pasti terdapat
perubahan terhadap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dampak dari hal
ini adalah munculnya banyak peraturan perundang-undangan di berbagai bidang
selama kurun waktu 8 tahun terakhir sejak amandemen keempat UUD 1945.
Peraturan-peraturan tersebut ada yang merupakan peraturan yang benar-benar baru
dibentuk seperti pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Pembentukan Mahkamah
Konstitusi, dsb., serta ada pula Peraturan-peraturan yang mengganti dan/atau
merubah peraturan yang sudah ada. Contoh kedua ini yang kemudian menimbulkan
permasalahan baru, yaitu terkait tidak sinkronnya satu peraturan dengan
peraturan lainnya. Kondisi demikian kemudian menghambat upaya penegakkan hukum
di berbagai aspek.
Pasca
amandemen UUD 1945 aspek hukum menjadi komponen yang sangat penting dalam
perjalanan demokrasi di Indonesia. Hukum menjadi pengawal yang sudah seharusnya
ada, jika demokrasi di Indonesia ingin ditegakkan. Hal ini sejalan dengan Pasal
1 ayat (3) amandemen ketiga UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Pada ayat (2) pasal yang sama dinyatakan pula bahwa
kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini
kemudian menciptakan sebuah keadaan yang kontradiktif antara upaya penegakkan
hukum dengan kondisi riil yang ada di Indonesia. Dengan begitu, kepastian hukum
sudah tentu sulit diperoleh apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, dan
pada akhirnya upaya pembangunan nasional juga menjadi terhambat.
Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi dan melakukan perbaikan terhadap peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih, pemerintah telah menyiapkan suatu
kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 untuk melakukan efektifitas peraturan
perundang-undangan nasional. Sehingga pada akhirnya salah satu misi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam Rencana Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005 – 2025 yaitu mewujudkan masyarakat demokratis berdasarkan hukum
dapat terlaksana.
B.
Pokok Permasalahan
Terhadap
perencanaan pembangunan dalam upaya penataan hukum nasional, terdapat pokok
permasalahan yang akan dijadikan pedoman dalam penulisan makalah ini. Adapun
pokok permasalahan tersebut sebagai berikut :
- Bagaimana Hubungan yuridis antara RPJPN, RPJMN, RPJPD dan RPJMD?
- Bagaimana permasalahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan khususnya terkait perencanaan pembangunan di Provinsi Jawa Barat?
- Bagaimana upaya penyelesaian tumpang tindih peraturan dalam rangka menciptakan efektifitas peraturan perundang-undangan nasional?
BAB
II
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DI BIDANG HUKUM TERKAT TUMPANG TINDIH PERATURAN PERUNDANG –
UNDANGAN NASIONAL YANG DITUANGKAN DALAM RPJPN (2005 – 2025) DAN RPJMN
(2010 – 2014)
Di dalam RPJPN 2005 – 2025 disebutkan
bahwa perwujudan sistem hukum nasional dilakukan dengan beberapa hal. Pertama,
pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai
dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif
terus dilanjutkan. Dan ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang
mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum
nasional yang dicita-citakan.
RPJPN
(2005 – 2025)
Seperti
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu misi Pembangunan Nasional yang
tertuang di dalam RPJPN adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan
hukum.
Demokratis
yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan
Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan memaksimalkan potensi
masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam
penyelenggaraan negara. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan
munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta
memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan
membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender. Hukum yang ditaati
dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar
masyarakat secara maksimal.
Sasaran
yang hendak dituju dari misi yang dibangun tersebut diantaranya yaitu
terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan,
akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang
kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya
penghormatan pada hak-hak asasi manusia.
RPJMN
(2010 – 2014)
RPJMN
2010 – 2014 sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi presiden yang
mengacu pada RPJP Nasional, menyebutkan bahwa agenda dalam bidang hukum adalah
proses pembuatan undang–undang, proses penjabarannya, proses pengawasan, dan
juga penegakan aturan hukum. Selain itu, wujud dari agenda hukum adalah menjamin
proses peradilan yang bebas. Hal ini semua akan membantu di dalam upaya
konsolidasi demokrasi. Penegakan hukum merupakan elemen yang sangat penting di
dalam pemberantasan korupsi. Selama ini, telah dan terus dilakukan pembenahan
pada substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Dikatakan
pula dalam RPJMN 2010 – 2014 Tumpang tindih dan inkosistensi peraturan
perundang-undangan harus diperkecil. Demikian juga hambatan pada implementasi
peraturan perundangan harus dihilangkan. Akan terus diupayakan perjanjian
ekstradisi dengan negara-negara yang berpotensi menjadi tempat pelarian pelaku
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Dalam usaha pemberantasan
korupsi, berbagai kasus telah ditindaklanjuti tanpa pandang bulu. Proses
penegakan hukum dalam bidang korupsi dilakukan tanpa tebang pilih. Semua warga
negara sama kedudukannya di muka hukum.
Untuk
mengatasi tumpang tindih tersebut perlu dilakukan pembenahan peraturan
perundang-undangan yang sampai dengan tahun 2009 dilakukan melalui upaya
mengatasi disharmoni peraturan perundang-undangan; membatalkan peraturan peraturan
daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan pertimbangan antara lain, bertentangan dengan kepentingan umum, bias
jender, tidak berpihak pada kelompok miskin (pro poor), dan bertentangan
dengan HAM. Sejak 2004 hingga Agustus 2009, terdapat lebih kurang 985 peraturan
daerah yang telah dibatalkan, sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Upaya
penegakan hukum juga tidak terlepas dari terjadinya tumpang tindih peraturan
perundang-undangan antara pusat dan daerah, antara daerah satu dengan lainnya
serta antara peraturan perundang-undangan secara horisontal satu dengan
lainnya. Akibatnya, penegakan hukum belum sesuai dengan harapan masyarakat. [
Sasaran
dalam peningkatan efektifitas Peraturan Perundang-undangan
Meningkatnya
kepastian hukum melalui tertib peraturan perundang-undangan dengan indikator
berkurangnya jumlah peraturan perundang-undangan yang bermasalah, meningkatnya
kualitas peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan
aspirasi masyarakat, dalam rangka mewujudkan Indonesia yang sejahtera,
demokratis, dan berkeadilan.
Strategi
dan Arah Kebijakan Pembangunan
Dalam
rangka mendukung terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan
berkeadilan, kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada
perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan strategi sebagai berikut:
peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan;
Upaya
untuk menciptakan efektivitas peraturan perundang-undangan nasional dilaksanakan
melalui hal-hal berikut:
1.
Peningkatan kualitas substansi peraturan perundang-undangan, dilakukan
antara lain melalui dukungan penelitian/pengkajian Naskah Akademik. Hasil
pengkajian/penelitian tersebut akan menjadi bahan penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan yang akan diharmonisasikan dan disinkronisasikan
dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
2.
Penyempurnaan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dilakukan
mulai dari tahapan perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Untuk menjamin tidak adanya
kesenjangan substansi dengan kebutuhan masyarakat, peran masyarakat dalam
setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, perlu diperkuat. Hal
ini juga perlu didukung oleh mekanisme pelaksanaan Program Legislasi Nasional
dan Daerah yang mengikat bagi eksekutif dan legislatif serta menjadi wadah
menyelaraskan kebutuhan kerangka regulasi yang mendukung prioritas pembangunan
nasional.
3.
Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dilakukan melalui
kegiatan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
BAB
III
HARMONISASI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN EFEKTIVITAS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
A. Hubungan Yuridis RPJPN, RPJMN, RPJPD dan RPJMD
Dalam
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional disebutkan bahwa RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan Nasional.
Sedangkan
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan
Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah
kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Kemudian
disebutkan bahwa RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah
yang mengacu pada RPJP Nasional. Sedangkan RPJM Daerah merupakan penjabaran
dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada
RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan
Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja
Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan
disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Jika
digambarkan dalam bentuk bagan, maka hubungan antara RPJPN, RPJMN, RPJPD dan
RPJMD adalah sebagai berikut:
Bagan
Hubungan Yuridis RPJPN, RPJMN, RPJPD dan RPJMD
Dari
bagan dan penjelasan di atas bisa dilihat bahwa terdapat dua istilah berbeda
yang digunakan terkait hubungan yuridis RPJPN, RPJMN, RPJPD dan RPJMD.
Perbedaan tersebut adalah antara kata mengacu/berpedoman dan memperhatikan.
Perbedaannya dari keduanya antara lain yaitu kekuatan mengikat antara kedua
kata tersebut. Kata mengacu/berpedoman tentu lebih mengikat dibandinkan dengan
memperhatikan. Kata tersebut cenderong condong kepada sebuah keharusan,
sedangkan kata memperhatikan adalah kata yang menyatakan bahwa dalam
penyusunannya semestinya sejalan.
Kata
memperhatikan ditemukan pada saat penyusunan RPJMD, dimana pada saat
penyusunannya, perlu memperhatikan apa saja yang sudah tertuang di dalam RPJMN.
Hal ini diperlukan agar visi misi Kepala Daerah paling tidak harus
memperhatikan visi misi dari presiden. Sehingga terjadi keharmonisan tujuan
antara pemerintah pusat dengan daerah. Jika tidak sejalan antara apa yang
menjadi visi misi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, maka tidak menutup
kemungkinan upaya untuk melakukan efektifitas peraturan perundang-undangan
menjadi terhambat bahkan malah menambah carut-marutnya peraturan
perundan-undangan di Indonesia.
B.
Beberapa Permasalahan Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan
Dalam
melakukan perencanaan pembangunan di bidang hukum, sebelumnya sudah pasti ada
pemetaan terhadap permasalahan yang ada di Indonesia. Setelahdilakukan
pemetaan, kemudian dipilih dan ditentukan prioritasnya permasalahan yang akan
dicari solusinya. Dari solusi tersebut maka ditetapkanlah sebuah kebijakan
publik yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan perencanaan pembangunan
tersebut.
C.
Upaya Menciptakan Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan Nasional
RPJMN menyebutkan
beberapa upaya untuk menciptakan efektivitas peraturan perundang-undangan
nasional yang dilaksanakan melalui hal-hal berikut:
1.
Peningkatan kualitas substansi peraturan perundang-undangan
2.
Penyempurnaan proses pembentukan peraturan perundang-undangan
3.
Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan
Berdasarkan ketiga
hal tersebut diatas dapat paling tidak terdapat dua hal yang dapat dilakukan,
yaitu:
1.
Prolegnas dan Prolegda
Dalam
proses penataan sistem hukum serta kerangka hukum yang ada, Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan
agar pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan dimulai dari
perencanaan, yaitu melalui proses Legislasi (nasional dan daerah).] Dimana kedua hal tersebut yaitu Prolegnas dan
Prolegda diharapkan menjadi pedoman dan pengendali penyusunan peraturan
perundang-undangan yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk
peraturan perundang-undangan.
Prolegnas
dalam pengertian umum adalah program perencanaan nasional di bidang
perundang-undangan. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2004
mengartikan Prolegnas sebagai “instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Artinya,
Prolegnas sesungguhnya merupakan satu proses yang terjadi sebelum pembentukan
undang-undang atau dapat dikatakan sebagai “pra-pembentukan peraturan
perundang-undangan”.
Secara
yuridis formal, UU No. 10 Tahun 2004 maupun Perpres No. 61 Tahun 2005 hanya
menyebutkan tentang Program Legislasi Naional. Dalam praktiknya, secara teknis
penyusunan Prolegnas dapat dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu (a) tahapan
penyusunan “rencana legislasi”, dan tahapan penyusunan ”program legislasi”.
Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa tahapan penyusunan Prolegnas
terdiri dari: (1) tahap kompilasi dan konsep Rencana Legislasi Nasional
(Relegnas); (2) tahap klasifikasi dan sinkronisasi Relegnas; (3) tahap
konsultasi dan komunikasi; (4) tahap penyusunan naskah; dan (5) tahap
koordinasi dan penetapan Prolegnas.
RUU
yang disusun dalam Prolegnas harus memperhatikan 3 dimensi, yaitu masa lalu
yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa, masa kini yaitu kondisi obyektif
yang ada sekarang dengan lingkungan strategisnya dengan memandang ke masa depan
yang dicita-citakan.
2.
Judicial Review
Selain
prolegnas/prolegda, upaya menciptakan efektifitas peraturan perundang-undangan
juga dapat dilaksanakan dengan melakukan judicial review (pengujian
peraturan peraturan perundang-undangan). Judicial review ini bisa
terhadap undang-undang yang tidak sejalan dengan konstitusi (ke Mahkamah
Konstitusi) dan / atau bisa berupa pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang (ke Mahkamah Agung).
Dengan
adanya judicial review ini maka diharapkan peraturan perundang-undangan
yang tidak sejalan dengan yang diatasnya dapat dibatalkan dan atau dirubah.
Bagi peraturan undang-undangan yang sejajar dapat diterapkan prinsip hukum
yaitu lex spesialis derogat lex generalis (peraturan yang lebih khusus
mengenyampingkan peraturan yang lebih umum) dan/ atau lex posteori derogat
lex priori (peraturan yang lebih baru mengenyampingkan peraturan yang lebih
lama). Pada akhirnya diharapkan harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat
terlaksana.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang
telah dipaparkan dalam makalah ini, maka terdapat kesimpulan yang didapat,
yaitu sebagai berikut:
1.
Hubungan yuridis antara RPJPN, RPJMN, RPJPD dan RPJMD adalah dalam penyusunan
RPJMN harus mengacu pada RPJPN, penyusunan RPJPD harus mengacu/berpedoman pada
RPJPN, serta dalam penyusunan RPJMD harus mengacu pada RPJPD dan memperhatikan
RPJMN;
2.
Permasalahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang terjadi di Jawa
Barat dan daerah lain di Indonesia terkait penetapan RPJMD, dimana menurut UU
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional RPJMD ditetapkan oleh Peraturan Kepala
Daerah, sedangkan menurut UU Pemerintahan Daerah RPJMD ditetapkan oleh
Peraturan Daerah. Selain itu ketidakselarasan waktu penetapan RPJMD dengan
RPJMN juga menimbulkan permasalahan, dimana RPJMD tersebut kemudian harus
diubah untuk kemudian memperhatikan RPJMN dalam penyusunannya;
3.
Upaya menciptakan efektifitas peraturan perundang-undangan nasional adalah: a)
Peningkatan kualitas substansi peraturan perundang-undangan; b) Penyempurnaan
proses pembentukan peraturan perundang-undangan; c) Pelaksanaan harmonisasi
peraturan perundang-undangan. Bentuk pelaksanaannya dapat berupa program
legislasi nasional dan daerah serta melaksanakan pengujian perundang-undangan (judicial
review)