Sabtu, 05 Juli 2014

Hak WNA Terhadap Penguasaan Tanah Di Indonesia




BAB     I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan yaitu sebagai pendukung mata pencaharian di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah, banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu:

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Hak yang dapat diberikan kepada warga negara, namun ada masalah selanjutnya, yakni warga negara yang mendiami Indonesia bukan hanya warga negara Indonesia saja, tetapi ada juga warga negara asing. Masalahnya adalah bagaimanakah pengaturan secara yuridis mengenai pemberian hak kepada selain warga negara Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul “Hak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia”.

  1. Rumusan masalah

Dari latar belakang tersebut, kami akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Kami membatasi masalah menjadi dua hal, yaitu:
1)     Siapa saja yang boleh memiliki hak penguasaan atas tanah?
2)     Apakah Warga Negara Asing boleh memiliki hak atas tanah?

  1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1)     Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki hak penguasaan atas tanah.
2)     Untuk mengetahui apakah warga negara asing boleh memiliki hak penguasaan atas tanah ataukah tidak.



BAB     II
PEMBAHASAN

  1. Subjek Hak Atas Tanah

Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.

Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa larangan itu tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing. Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.

Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.

Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan lain dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian, maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja.

Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusus untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. pasal 6 UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).

UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964). Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum bagi perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian. Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.

  1. Status Warga Negara Asing di Indonesia

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing, pada pasal 1[2]:

“Orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional dapat memiliki sebuah rumah tempat tinggal atau hunian dalam bentuk rumah dengan hak atas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah negara.” (Pasal 1 ayat 1)

“Orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.” (Pasal 1 ayat 2).

  1. Hak Penguasaan Atas Tanah Warga Negara Asing

Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.[3]

Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.

Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan kewarganegaraannya.

Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat, S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA.

Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat (legat).

Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya?

Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau hak pakai.[4]

Menurut PP Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing: “Warga negara asing dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan”.
[5]

Sebelum PP Nomor 41 Tahun 1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP Nomor 41 Tahun 1996.
[6]


BAB  III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Subjek hukum yang memiliki hak pengelolaan, khususnya yaitu hak milik adalah warga negara Indonesia, badan hukum nasional yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Adapun warga negara asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia juga mendapatkan hak penguasaan tanah yang diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA.

Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah jo. PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Pasal 21 ayat 3 UUPA juga menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan juga mendapatkan hak milik yang bersifat sementara yang setelahnya harus diserahkan kembali pada negara. Cara-cara yang disebutkan seperti diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan.


Sumber :
http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2012/06/kepemilikan-warga-negara-asing-terhadap.html, diakses pada tanggal 14 desember 2012, pukul 11:00.
http://gambiri67.wordpress.com/2009/03/16/hak-atas-tanah-bagi-orang-asing, diakses pada tanggal 14 desember 2012, pukul 11:15.








Rabu, 18 Juni 2014

Politik dan Strategi Nasional


POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL

v  Pengertian Politik Dan Strategi Nasional

Kata “Politik” secara ilmu etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang asal katanya adalah polis berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, dan teia berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem negara dan upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan itu, pengambilan keputusan (decisionmaking) mengenai seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Untuk melaksanakan tujuan itu diperlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada.
Politik secara umum adalah mengenai proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Dengan begitu, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan umum(policy), dan distribusi kekuasaan.
a. Negara
Negara merupakan suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya.
b. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya.
c. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah aspek utama politik. Jadi, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum . Keputusan yang diambil menyangkut sector public dari suatu Negara.
d. Kebijakan Umum
Kebijakan ( policy ) merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu. Dasar pemikirannya adalah bahwa masyarakat memiliki beberapa tujuan bersama yang ingin dicapai secara bersama pula , sehingga perlu ada rencana yang mengikat yang dirumuskan dalan kebijakan – kebijakan oleh pihak yang berwenang.
e. Distribusi
Yang dimaksud dengan distribusi ialah pembagian dan pengalokasian nilai – nilai ( values ) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting.

v  Pengertian Strategi dan Strategi Nasional

Strategi berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz (1780-1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik. Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencapaian tujuan. Dengan demikian, strategi tidak hanya menjadi monopoli para jendral atau bidang militer, tetapi telah meluas ke segala bidang kehidupan.
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional . Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.

v  Dasar Pemikiran Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional. Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama ini disusun berdasarkan sistem kenegaraaan menurut UUD 1945. Sejak tahun 1985 telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa jajaran pemerintah dan lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 merupakan “suprastruktur politik”.  Lembaga-lembaga tersebut adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA. Sedangkan badan-badan yang ada dalam masyarakat disebut sebagai “infrastruktur politik”, yang mencakup pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan kelompok penekan (pressure group).
Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang. Mekanisme penyusunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politik diatur oleh presiden/mandataris MPR. Sedangkan proses penyusunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politk dilakukan setelah presiden menerima GBHN .Strategi nasional dilaksanakan oleh para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan petunjuk presiden, yang dilaksanakan oleh presiden sesungguhnya merupakan politik dan strategi nasional yang bersifat pelaksanaan. Salah satu wujud pengapilikasian politik dan strategi nasional dalam pemerintahan adalah sebagai berikut :
Otonomi Daerah
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah, yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah :
1.      Undang-undang yang lama, titik pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central government looking).
2.      Undang-undang yang baru, titik pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local government looking).
Kewenangan Daerah
1.      Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2.      Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3.      Bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
a.    DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif
       daerah dibentuk di daerah.
b. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk
    melaksanakan demokrasi.
-          Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
-          Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
-          Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
-          Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.
-          Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.
-          Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.

v  Penyusunan Politik Strategi Nasional, Stratifikasi Politik Nasional, dan Politik Pembangunan Nasional serta Manajemen Nasional.

·         Stratifikasi Politik Nasional
Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut : :
Tingkat penentu kebijakan puncak
Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitik beratkan pada masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukan oleh MPR. Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negara dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala negara.
Tingkat kebijakan umum
Merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisi mengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.
Tingkat penentu kebijakan khusus
Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan tingkat di atasnya.
Tingkat penentu kebijakan teknis
Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari biang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.
Tingkat penentu kebijakan di daerah
Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannnya sabagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Kepala daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tinkat I atau II. Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan Gubernur/Kepala Daerah tingkat I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II.

v  Implementasi POLSTRANAS
§  Implementasi Polstranan di Bidang Hukum
1.      Mengembangkan budaya hokum di semua lapisan masyarakat
2.      Menata system hokum nasional yang menyeluruh dan terpadu
3.      Menegakan hokum secara konsisten
4.      Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional
5.      Meningkatkan integritas moral dan profesionalitas
§  Implementasi Polstranas di Bidang Ekonomi
1.      Mengembangkan system ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang adil berdasarkan prinsip persaingan sehat.
2.      Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistic dan berbagai struktur pasar disortif yang merugikan masyarakat
3.      Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar.
4.      Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak – anak terlantar dengan mengembangkan system dan jaminan social melalui program pemerintah
5.      Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi melalui pembentukan keunggulan kompetitif
§  Implementasi Polstranas di Bidang Politik
1.      Politik Dalam Negeri
2.      Politik Luar Negeri
3.      Penyelnggaraan Negara
4.      Komunikasi, Informasi, dan Media Massa
5.      Agama
6.      Pendidikan
§  Implementasi di Bidang Sosial dan Budaya
1.      Kesehatan dan Kesejahteraan social
2.      Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata
3.      Kedudukan dan Peranan Perempuan
4.      Pemuda dan Olahraga
5.      Pembangunan Daerah
6.      Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
§  Implementasi di Bidang Pertahanan dan Keamanan
1.      Kaidah Pelaksanaan
2.      Keberhasilan Politik dan Strategi Nasional



v  Keberhasilan POLSTRANAS

Politik dan strategi nasional Indonesia akan berhasil dengan baik dan memiliki manfaat yang seluas-luasnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh rakyat, jikalau para warga negara terutama para penyelenggara negara memiliki moralitas, semangat, serta sikap mental yang mencerminkan kebaikan yang mana nantinya menjadi panutan bagi warganya. Dengan demikian ketahanan nasional Indonesia akan terwujud dan akan menumbuhkan kesadaran rakyat untuk bela negara, serta kesadaran nasionalisme yang tinggi namun bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab.